Pertama kali saya mengenal sistem operasi Linux adalah pada tahun 2020. Ya, tahun tersebut adalah masa ketika saya masih berada di semester 1 dengan program studi Ilmu Komputer di Universitas Nusa Cendana.
Sistem operasi Linux yang pertama kali saya kenal adalah Ubuntu. Namun, waktu itu saya hanya sekilas mengetahui bahwa Ubuntu merupakan salah satu varian dari sistem operasi Linux.
“Oh, jadi Linux itu seperti Ubuntu.”
Keinginan untuk mencoba Linux sebenarnya sudah ada sejak saat itu. Namun karena keterbatasan perangkat dan pengetahuan teknis yang masih minim, saya memilih untuk menunda niat tersebut.
Cerita saya dengan Linux tidak berhenti di situ. Saat memasuki semester 2, seorang teman saya dari STIKOM mulai memperkenalkan saya lebih jauh tentang sistem operasi, termasuk Linux. Padahal, saya belum menyadari bahwa mata kuliah Sistem Operasi baru akan saya dapatkan di semester 3.
Saya belajar langsung ke bagian teknis, seperti menginstal Linux di VirtualBox (mesin virtual) dan mempelajari berbagai perintah di terminal Linux Ubuntu. Selain Ubuntu, saya juga dikenalkan pada Kali Linux — yang merupakan satu keluarga dengan Ubuntu karena sama-sama berbasis Linux.
Ketika semester 3 tiba dan saya resmi mendapatkan mata kuliah Sistem Operasi, saya sudah memiliki bekal dasar. Bahkan saya sempat menggunakan Linux untuk keperluan pemrograman.
Semakin sering saya menggunakan Linux, semakin saya memahami cara kerjanya. Analogi sederhananya: seperti pendekatan pada seseorang yang disukai — makin dekat, makin tahu sifat dan karakternya.
Beberapa hal yang membuat saya menyukai Linux antara lain adalah kecepatan, kestabilan, sifat open source-nya, serta fleksibilitas dalam memodifikasi tampilan desktop. Linux mendukung berbagai desktop environment, salah satunya GNOME, yang memudahkan pengguna dalam mengatur antarmuka.
FYI, di Windows kita bisa mengubah tampilan UI menggunakan aplikasi seperti Rainmeter, sedangkan di Linux, hal itu bisa dilakukan lebih dalam dan menyeluruh — tergantung sejauh mana kreativitas dan kemampuan kita.
Selain itu, saya menyukai Linux karena banyaknya varian atau distro seperti Ubuntu, Kali Linux, Arch Linux, CuteFish OS, Linux Mint, Debian, dan lain sebagainya. Karena Linux bersifat open source, kita diberikan kebebasan untuk memodifikasi dan mengembangkan sesuai kebutuhan tertentu.
Oleh karena itu, jangan heran jika Linux memiliki banyak turunan, tidak seperti Windows atau macOS yang lebih tertutup dan terbatas variasinya.
Saat ini (semester 4), saya masih aktif menggunakan Linux dalam keseharian. Linux menjadi alat utama saya untuk belajar, menulis konten blog, mengerjakan proyek pemrograman, bahkan... untuk sekadar stalking akun Instagram seseorang yang saya sukai 😄.
Alasan saya menggunakan Linux sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu karena saya menyukainya. Bukan karena ingin tampil keren atau pamer kecepatan booting saat menyalakan laptop.
Saya menggunakan Linux murni karena kebutuhan dan kecocokan pribadi, bukan karena tren atau gaya-gayaan.
Jika Linux itu adalah seorang wanita, mungkin saya sudah menyatakan cinta sejak awal bertemu...
Sekian tulisan kali ini. Sampaikan salam saya pada para pengguna Windows. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya — jika ada waktu dan kesempatan.
Belum ada komentar.
Mau dapat email setiap ada postingan baru?
We respect your privacy. Unsubscribe at any time.